Dunia sedang menghadapi krisis yang secara laten terus mengancam kehidupan. Meningkatnya populasi yang berdampak pada kerusakan lingkungan di satu sisi; krisis ranah kebudayaan sebagai dampak ungkapan budaya luar-sadar yang dipicu konflik hubungan antar manusia dengan apa-apa yang diciptakannya, di sisi lain, adalah fakta yang kita hadapi hari ini. Manifestasi dari kedua krisis itu bisa dalam bentuk mesin-mesin yang merusak alam, institusi-institusi yang melahirkan konflik kepentingan, ide-ide, agama & filsafat yang memenjarakan akal sehat, serta rusaknya hubungan antar individu maupun antar kelompok.

Dalam situasi ini, masa depan sangat ditentukan oleh kemampuan masing-masing individu untuk melampaui batas penghayatan budaya yang dimiliki dan dihayati. Ia harus mengenal multi dimensi tersembunyi budaya luar-sadar yang mendekam di dalam kebudayaannya. Dalam kehidupan sehari-hari, budaya luar-sadar yang negatif dan tersembunyi ini pada hakekatnya adalah dampak dari rasa rendah diri (inferiority) dan ketidakberdayaan (powerlessness) yang menumpuk melalui proses sejarah penindasan rezim kekuasaan, kemiskinan, yang kemudian mewarnai perilaku dan mentalitasnya.

Rasa rendah diri dan ketidakberdayaan ini memunculkan tindakan aggresif yang di dalam album "Kehidupan dalam Ekspresi Teater Bunyi" ini direkam dalam bentuk puisi oleh penyair Slamet Widodo dan diterjemahkan kedalam susunan bunyi musikal oleh etnomusikolog/komposer, penerima Anugerah Seni/Kebudayaan 2014, Rizaldi Siagian. Kedua seniman ini menyebut karya kolaboratif ini "teater bunyi", yaitu, pengintegrasian resitasi puisi dan organisasi bunyi berdasarkan interpretasi dramaturgis makna puisi dan eksplorasi musikal. Semoga ia bisa memberi manfaat, terutama di saat Indonesia sedang giat melakukan "Revolusi Mental" sekarang ini.